Powered By Blogger

Thursday, September 4, 2014

Bahan Bakar Ramah Lingkungan


         Bahan bakar etanol adalah etanol (etil alkohol) dengan jenis yang sama dengan yang ditemukan pada minuman beralkohol dengan penggunaan sebagai bahan bakar. Etanol seringkali dijadikan bahan tambahan bensin sehingga menjadi biofuel. Produksi etanol dunia untuk bahan bakar transportasi meningkat 3 kali lipat dalam kurun waktu 7 tahun, dari 17 miliar liter pada tahun 2000 menjadi 52 miliar liter pada tahun 2007.
          Seperti semua bahan bakar lainnya, bahan bakar etanol juga memiliki keunggulan dan kelemahan yang akan dibahas di artikel ini. Salah satu keunggulan bahan bakar etanol yang paling jelas adalah bahan bakar etanol merupakan sumber energi terbarukan, yang berarti bahwa bahan bakar etanol tidak terbatas seperti bahan bakar fosil. Negara yang menggunakan etanol akan mengurangi ketergantungannya pada impor minyak asing, dan juga mengurangi efek harga minyak yang tak stabil. Produksi etanol dalam jumlah besar di dalam negeri akan memastikan bahwa uang akan tetap berputar di dalam negeri dan bukannya dibelanjakan pada minyak asing yang mahal. Tentu saja peningkatan produksi etanol dalam negeri juga akan menciptakan lebih banyak pekerjaan, dan juga sangat mungkin akan menurunkan harga bahan bakar.  Pembakran etanol lebih bersih daripada bahan bakar fosil yang berarti mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal ini merupakan keuntungan etanol yang paling signifikan bagi lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar fosil.
       Bahan bakar etanol juga memiliki kelemahan dan fakta bahwa sebagian besar produksi etanol berasal dari tanaman pangan memiliki potensi untuk meningkatkan harga pangan dan bahkan menyebabkan kekurangan pangan. Isu bahan bakar vs makanan adalah bahan perdebatan utama, karena dengan adanya peningkatan penggunaan etanol maka banyak lahan yang akan dipergunakan untuk memproduksi etanol, bukan untuk menghasilkan makanan, dan ini akan menyebabkan kekurangan jumlah pangan yang diikuti dengan peningkatan harga pangan, dan kemungkinan akan menghasilkan lebih banyak masalah kelaparan di dunia.

        Etanol menghasilkan energi  per satuan volume lebih rendah dibandingkan dengan bensin. Etanol juga cenderung sangat korosif karena dapat dengan mudah menyerap air dan kotoran. Tanpa sistem penyaringan yang tepat, etanol dapat menyebabkan korosi di dalam blok mesin terjadi dengan cepat.Saat kompresi, mesin yang didesain untuk etanol murni memiliki efisiensi bahan bakar 20-30% lebih rendah dibandingkan mesin yang didesain untuk bensin murni.Mesin yang menggunakan campuran etanol tinggi akan menjadi masalah saat cuaca dingin (musim dingin).Demikianlah keunngulan dan kelemahan pemakaian bahan bakar etanol. Semoga bisa menjadi bahan referensi bagi Anda.
          Riset tentang kemungkinan pemanfaatan bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati di Indonesia  sebenarnya sudah dilakukan sejak lama, namun pemakaiannya sebagai bahan bakar masih jauh dari harapan kita semua. Walaupun himbauan pemerintah kepada pemakai kendaraan pribadi untuk menggunakan bensin pertamax namun pemilik kendaraan di Indonesia saat ini masih senang menikmati BBM bersubsidi karena harganya yang relatif murah dan terjangkau semua kalangan mulai dari kalangan atas sampai kalangan menengah ke bawah. Namun dengan naiknya harga BBM dari waktu ke waktu maka secara signifikan perbedaan harga BBM dan BBN bioetanol di masa-masa mendatang akan semakin tipis. Harga premium bersubsidi saat ini sekitar Rp.4500,-/liter lebih rendah dari harga bioetanol yang mencapai Rp. 8000,-/liter atau hampir 2 kali lipat harga bensin premium. Dengan harga seperti itu sudah pasti PT.Pertamina akan merugi jika tetap memaksakan diri menjual bioetanol sebagai biopremium dengan harga Rp.4500,-/liter. Persoalan pemakaian bioetanol atau etanol sebagai substitusi BBM juga terkendala pasokan bioetanol dan atau etanol pertahun yang relatif masih rendah. Saat ini konsumsi bensin premium perbulan mencapai 1,5 juta kiloliter sedangkan pasokan etanol perbulan di Indonesia kira-kira hanya mencapai 500 kiloliter perbulan.
Sebenarnya kalau kita kaji, Indonesia sangat berprospek mengembangkan bioetanol sendiri. Pertama, bahan baku berupa tanaman berpati dan bergula tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia begitu pula sumber lignoselulosa. Namun  mengapa program substitusi BBM dengan bioetanol di Indonesia tersendat? Bagaimana upaya yang harus kita lakukan untuk melancarkan program itu? Untuk menjawab dan mengatasi persoalaan tersebut diperlukan langkah-langkah atau strategi jitu dari pemerintah antara lain dengan mewajikan sektor transportasi PSO (Public Service Obligation) dan non PSO, industri dan pembangkit tenaga listrik secara bertahap menggunakan BBN dengan persentase tertentu (Mandatori BBN), mendirikan pabrik bioetanol secara ekstensif, mengatur tata niaga bioetanol, membuat road map pengembangan energi bioetanol yang jelas dan meningkatkan penelitian praktis penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar kendaran dan mesin, terutama pembuatan bioetanol generasi kedua, sosialisasi BBN bioetanol ke masyarakat, pemberdayaan masyarakat untuk mengembankan bioetanol secara mandiri (pembangunan Desa Mandiri Energi), subsidi BBN bioetanol dan pengawasan impor bioetanol serta membudidayakan tanaman penghasil bioetanol yang tidak mengganggu keamanan pangan (non edible)
    Strategi pertama berupa Mandatori BBN praktis telah ditandatangani oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro dan telah dinyatakan berlaku efektif sejak januari 2009. Mandatori ini mengatur penggunaan BBN secara bertahap. Dengan mandatori tersebut diharapkan pada tahun 2025 penggunaan bioetanol akan mencapai 15% dari kebutuhan total bahan bakar Indonesia. Agar pasokan bioetanol terjamin maka dibutuhkan pabrik-pabrik bioetanol yang dapat mencukupi kebutuhan bioetanol nasional yang dikuti dengan tata niaga bioetanol yang transparan,jelas serta dilaksanakan secara bertahap. Tata niaga dapat dimulai dari pengadaan bahan baku, pengolahan bahan baku menjadi bioetanol dan pemasaran bioetanol. Tata niaga bioetanol seyogyanya difasilitasi oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait.
      Penelitian penggunaan bioetanol generasi pertama memilik banyak kelemahan antara lain sumber bioetanol yang dipakai  bergesekan dengan  sumber pangan, misalnya jagung, sorgum dan tebu. Generasi kedua bioetanol mensyaratkan pemakaian bahan baku yang berasal dari biomassa non edible, seperti jerami, tongkol jagung, serbuk gergaji dan sebagainya. Namun riset tentang bioetanol generasi kedua khususnya di Indonesia masih kurang berkembang. Di Amerika riset tentang bioetanol generasi kedua, misalnya bioetanol selulosik sudah mendekati scale up ke industri. Pada tahun 2011 Amerika berencana membangun pabrik bioetanol selulosik dengan kapasitas 50-100 juta gallon. Agar pengembangan energi bioetanol di Indonesia lebih terarah maka diperlukan road map sektor energi bioetanol. Pembuatan road map adalah tugas lembaga pemerintah yang bekompeten, misalnya Kementerian Riset dan Energi dibantu para pakar dari perguruan tinggi, dan lembaga atau institusi terkait.
Betapapun bagusnya program pemerintah jika tidak diikuti sosialisasi dan implementasi ke masyarakat maka  program tersebut menjadi tumpul. Saat ini pemahaman masyarakat tentang bioetanol sebagai BBN dirasa relatif masih rendah, sehingga pemasyarakatan bioetanol menjadi kurang optimal. Sosialisasi berkelanjutan melalui kuliah kerja nyata mahasiswa dan lewat bebagai media utamanya televisi dan surat kabar perlu ditingkatkan. Pembangunan Desa mandiri Energi (DME) merupakan strategi pemerintah untuk membangun ketahanan energi melalui masyarakat pedesaan. Jika masyarakat desa dapat memenuhi sendiri kebutuhan akan energinya sendiri, minimal 60% maka desa tersebut dikatakan telah mandiri energi. DME diharapkan dapat menjadi solusi signifikan untuk mengatasi kebutuhan energi bangsa. Pembangunan DME masih terus berjalan sejak tahun 2009 dan saat ini telah mencapai 1000 DME tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai contoh sukses pembangunan DME adalah  Kabupaten Minahasa Selatan. Masyarakat lokal telah berhasil mengembangkan home industry bioetanol dari nira. Melalui industri rumahan ini mereka mampu menghasilkan 1 liter bioetanol per pohon nira perhari. Bioetanol ini kemudian mereka gunakan untuk kendaraan pemerintah setempat. Program DME ini akan lebih berhasil apabila didukung dan melibatkan berbagai instansi pemerintah, LSM dan perguruan tinggi.
    Bahan baku bioetanol di tiap daerah atau Negara sangat tergantung kepada sumber daya alam nabatinya. Di Indonesia sumber bioetanol sangat berlimpah, sebut saja tebu, jagung,singkong, buah-buahan, nira dan sebagainya. Dalam program pengadaan BBN Nasional tidak semua tanaman tersebut layak secara ekonomi untuk digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Pemerintah dan rakyat sebaiknya lebih fokus hanya kepada tanaman yang mudah dibudidayakan saja.



No comments:

Post a Comment