Bahan bakar etanol adalah etanol (etil alkohol) dengan jenis yang sama dengan
yang ditemukan pada minuman
beralkohol dengan penggunaan sebagai bahan bakar. Etanol seringkali dijadikan
bahan tambahan bensin sehingga menjadi biofuel. Produksi
etanol dunia untuk bahan bakar transportasi meningkat 3 kali lipat dalam kurun
waktu 7 tahun, dari 17 miliar liter pada tahun 2000 menjadi 52 miliar liter
pada tahun 2007.
Seperti semua bahan bakar lainnya,
bahan bakar etanol juga memiliki keunggulan dan kelemahan yang akan dibahas di
artikel ini. Salah satu keunggulan bahan bakar etanol yang paling jelas adalah
bahan bakar etanol merupakan sumber energi terbarukan, yang berarti bahwa bahan
bakar etanol tidak terbatas seperti bahan bakar fosil. Negara yang menggunakan
etanol akan mengurangi ketergantungannya pada impor minyak asing, dan juga
mengurangi efek harga minyak yang tak stabil. Produksi etanol dalam jumlah
besar di dalam negeri akan memastikan bahwa uang akan tetap berputar di dalam
negeri dan bukannya dibelanjakan pada minyak asing yang mahal. Tentu saja
peningkatan produksi etanol dalam negeri juga akan menciptakan lebih banyak
pekerjaan, dan juga sangat mungkin akan menurunkan harga bahan bakar. Pembakran etanol lebih bersih daripada bahan
bakar fosil yang berarti mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal ini merupakan
keuntungan etanol yang paling signifikan bagi lingkungan dibandingkan dengan
bahan bakar fosil.
Bahan bakar etanol juga memiliki kelemahan
dan fakta bahwa sebagian besar produksi etanol berasal dari tanaman pangan
memiliki potensi untuk meningkatkan harga pangan dan bahkan menyebabkan
kekurangan pangan. Isu bahan bakar vs makanan adalah bahan perdebatan utama,
karena dengan adanya peningkatan penggunaan etanol maka banyak lahan yang akan
dipergunakan untuk memproduksi etanol, bukan untuk menghasilkan makanan, dan
ini akan menyebabkan kekurangan jumlah pangan yang diikuti dengan peningkatan
harga pangan, dan kemungkinan akan menghasilkan lebih banyak masalah kelaparan
di dunia.
Etanol menghasilkan energi
per satuan volume lebih rendah dibandingkan dengan bensin. Etanol juga
cenderung sangat korosif karena dapat dengan mudah menyerap air dan kotoran.
Tanpa sistem penyaringan yang tepat, etanol dapat menyebabkan korosi di dalam
blok mesin terjadi dengan cepat.Saat kompresi, mesin yang didesain untuk etanol
murni memiliki efisiensi bahan bakar 20-30% lebih rendah dibandingkan mesin yang
didesain untuk bensin murni.Mesin yang menggunakan campuran etanol tinggi akan
menjadi masalah saat cuaca dingin (musim dingin).Demikianlah keunngulan dan
kelemahan pemakaian bahan bakar etanol. Semoga bisa menjadi bahan referensi
bagi Anda.
Riset tentang kemungkinan pemanfaatan
bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati di Indonesia sebenarnya sudah
dilakukan sejak lama, namun pemakaiannya sebagai bahan bakar masih jauh dari
harapan kita semua. Walaupun himbauan pemerintah kepada pemakai kendaraan
pribadi untuk menggunakan bensin pertamax namun pemilik kendaraan di Indonesia
saat ini masih senang menikmati BBM bersubsidi karena harganya yang relatif
murah dan terjangkau semua kalangan mulai dari kalangan atas sampai kalangan
menengah ke bawah. Namun dengan naiknya harga BBM dari waktu ke waktu maka secara
signifikan perbedaan harga BBM dan BBN bioetanol di masa-masa mendatang akan
semakin tipis. Harga premium bersubsidi saat ini sekitar Rp.4500,-/liter lebih
rendah dari harga bioetanol yang mencapai Rp. 8000,-/liter atau hampir 2 kali
lipat harga bensin premium. Dengan harga seperti itu sudah pasti PT.Pertamina
akan merugi jika tetap memaksakan diri menjual bioetanol sebagai biopremium
dengan harga Rp.4500,-/liter. Persoalan pemakaian bioetanol atau etanol sebagai
substitusi BBM juga terkendala pasokan bioetanol dan atau etanol pertahun yang
relatif masih rendah. Saat ini konsumsi bensin premium perbulan mencapai 1,5
juta kiloliter sedangkan pasokan etanol perbulan di Indonesia kira-kira hanya
mencapai 500 kiloliter perbulan.
Sebenarnya kalau kita kaji,
Indonesia sangat berprospek mengembangkan bioetanol sendiri. Pertama, bahan
baku berupa tanaman berpati dan bergula tersebar luas di seluruh wilayah
Indonesia begitu pula sumber lignoselulosa. Namun mengapa program substitusi BBM dengan
bioetanol di Indonesia tersendat? Bagaimana upaya yang harus kita lakukan untuk
melancarkan program itu? Untuk menjawab dan mengatasi persoalaan tersebut
diperlukan langkah-langkah atau strategi jitu dari pemerintah antara lain
dengan mewajikan sektor transportasi PSO (Public Service Obligation)
dan non PSO, industri dan pembangkit tenaga listrik secara bertahap menggunakan
BBN dengan persentase tertentu (Mandatori BBN), mendirikan pabrik bioetanol
secara ekstensif, mengatur tata niaga bioetanol, membuat road map
pengembangan energi bioetanol yang jelas dan meningkatkan penelitian praktis
penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar kendaran dan mesin, terutama pembuatan
bioetanol generasi kedua, sosialisasi BBN bioetanol ke masyarakat, pemberdayaan
masyarakat untuk mengembankan bioetanol secara mandiri (pembangunan Desa
Mandiri Energi), subsidi BBN bioetanol dan pengawasan impor bioetanol serta
membudidayakan tanaman penghasil bioetanol yang tidak mengganggu keamanan
pangan (non edible)
Strategi pertama berupa Mandatori BBN praktis
telah ditandatangani oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
Purnomo Yusgiantoro dan telah dinyatakan berlaku efektif sejak januari 2009.
Mandatori ini mengatur penggunaan BBN secara bertahap. Dengan mandatori
tersebut diharapkan pada tahun 2025 penggunaan bioetanol akan mencapai 15% dari
kebutuhan total bahan bakar Indonesia. Agar pasokan bioetanol terjamin maka
dibutuhkan pabrik-pabrik bioetanol yang dapat mencukupi kebutuhan bioetanol
nasional yang dikuti dengan tata niaga bioetanol yang transparan,jelas serta
dilaksanakan secara bertahap. Tata niaga dapat dimulai dari pengadaan bahan
baku, pengolahan bahan baku menjadi bioetanol dan pemasaran bioetanol. Tata
niaga bioetanol seyogyanya difasilitasi oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga
terkait.
Penelitian penggunaan bioetanol generasi
pertama memilik banyak kelemahan antara lain sumber bioetanol yang
dipakai bergesekan dengan sumber pangan, misalnya jagung, sorgum
dan tebu. Generasi kedua bioetanol mensyaratkan pemakaian bahan baku yang
berasal dari biomassa non edible, seperti jerami, tongkol jagung,
serbuk gergaji dan sebagainya. Namun riset tentang bioetanol generasi kedua
khususnya di Indonesia masih kurang berkembang. Di Amerika riset tentang
bioetanol generasi kedua, misalnya bioetanol selulosik sudah mendekati scale
up ke industri. Pada tahun 2011 Amerika berencana membangun pabrik
bioetanol selulosik dengan kapasitas 50-100 juta gallon. Agar pengembangan
energi bioetanol di Indonesia lebih terarah maka diperlukan road map
sektor energi bioetanol. Pembuatan road map adalah tugas lembaga
pemerintah yang bekompeten, misalnya Kementerian Riset dan Energi dibantu para
pakar dari perguruan tinggi, dan lembaga atau institusi terkait.
Betapapun bagusnya program
pemerintah jika tidak diikuti sosialisasi dan implementasi ke masyarakat
maka program tersebut menjadi tumpul. Saat ini pemahaman masyarakat
tentang bioetanol sebagai BBN dirasa relatif masih rendah, sehingga
pemasyarakatan bioetanol menjadi kurang optimal. Sosialisasi berkelanjutan
melalui kuliah kerja nyata mahasiswa dan lewat bebagai media utamanya televisi
dan surat kabar perlu ditingkatkan. Pembangunan Desa mandiri Energi (DME)
merupakan strategi pemerintah untuk membangun ketahanan energi melalui
masyarakat pedesaan. Jika masyarakat desa dapat memenuhi sendiri kebutuhan akan
energinya sendiri, minimal 60% maka desa tersebut dikatakan telah mandiri
energi. DME diharapkan dapat menjadi solusi signifikan untuk mengatasi
kebutuhan energi bangsa. Pembangunan DME masih terus berjalan sejak tahun 2009
dan saat ini telah mencapai 1000 DME tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Sebagai contoh sukses pembangunan DME adalah Kabupaten Minahasa Selatan.
Masyarakat lokal telah berhasil mengembangkan home industry bioetanol
dari nira. Melalui industri rumahan ini mereka mampu menghasilkan 1 liter
bioetanol per pohon nira perhari. Bioetanol ini kemudian mereka gunakan untuk
kendaraan pemerintah setempat. Program DME ini akan lebih berhasil apabila
didukung dan melibatkan berbagai instansi pemerintah, LSM dan perguruan tinggi.
Bahan baku bioetanol di tiap daerah atau
Negara sangat tergantung kepada sumber daya alam nabatinya. Di Indonesia sumber
bioetanol sangat berlimpah, sebut saja tebu, jagung,singkong, buah-buahan, nira
dan sebagainya. Dalam program pengadaan BBN Nasional tidak semua tanaman
tersebut layak secara ekonomi untuk digunakan sebagai bahan baku bioetanol.
Pemerintah dan rakyat sebaiknya lebih fokus hanya kepada tanaman yang mudah
dibudidayakan saja.